Seluruh masyarakat didunia sedang berlomba meningkatkan
Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa
maju mundurnya negara tergantung dari kualitas SDM warga negaranya. Banyak
negara yang sumber daya alamnya melimpah menjadi obyek eksploitasi negara lain
karena tidak bisa mengolah sumber daya alam tersebut, disisi lain banyak negara
yang memiliki SDA terbatas, namun mempunyai SDM yang baik akan mampu mencapai
kesejahteraan yang tinggi. Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengatakan bahwa
untuk mewujudkan peningkatan produksi nasional harus tersedia sumber daya alam
yang cukup, modal yang besar, peningkatan teknologi, dan peran sumber daya
manusia. Jepang mempunyai lahan pertanian yang sangat sempit, tapi dengan SDM
yang berkualitas negara tersebut dapat menciptakan teknologi sehingga mampu
meningkatkan produksi pertanainnya (Arifin, 2001). Bukti-bukti empirik telah
menjelaskan bahwa suatu negara tidak akan maju apabila tidak didukung oleh
pembangunan sumber daya manusia yang bermutu. SDM yang bermutu adalah meraka
yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi, pandai dalam menajemen, dan
menerapkan teknologi yang canggih, selain itu untuk membangun SDM yang
berkualitas harus menyentuh banyak aspek. Namun fokus utamanya mutlak
diletakkan pada upaya peningkatan kualitas dasar penduduk dalam hal fisik dan
intelegensia.
Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi
oleh masyarakat, karena kualitas pangan sangat menentukan tingkat pertumbuhan
fisik dan kecerdasan penduduk, disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang
baik. Produk peternakan yang dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan utama dan
dikonsumsi oleh manusia, pada umumnya terdiri atas tiga komoditas, yaitu:
daging, susu, dan telur. Menurut Daryanto (2008) bahan pangan hewani merupakan
sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat
regenerasi sel dan berperan untuk membentuk masyarakat yang sehat, cerdas,
produktif dan berkualitas.
Statistik Peternakan menunjukkan bahwa dari ketiga produk
tersebut, unggas merupakan kontributor terbanyak dalam penyediaan daging
nasional, sekitar 1.355.841 Ton (65,46 %) dari total produksi daging (TPD) dengan
rincian ayam lokal 322.780 (23.9%), ayam ras petelur 54.312 (4.0%), ayam ras
pedaging 955.756 (70,5%) dan Itik 22.295 (1,6%); dikuti oleh Sapi (389.294 Ton,
18,80 % TPD); Babi (179.441 Ton, 8,67 % TPD); Kambing (53.227 Ton, 2,57 % TPD);
Domba (51.894 Ton, 2,51 % TPD); Kerbau (39.503 Ton, 1,91 % TPD) dan terakhir
Kuda (1.682 Ton, 0.08 % TPD) (Ditjennak,
2006). Menurut Siagian (2008) tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia
relatif rendah, hanya 4,7 gram/kapita/hari jauh dari target 6 gram/kapita/hari.
Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi protein hewani
hanya 78,3% dari target nasional.
kandang closed house |
Daryanto (2008) mengatakan bahwa rendahnya konsumsi protein
hewani penduduk Indonesia disebabkan karena lemahnya daya beli masyarakat,
selain itu kasus Avian Influenza (AI) belum dapat diselesaikan secara tuntas,
serta rendahnya sosialisasi sadar gizi terhadap masyarakat Indonesia. Hal itu
senada dengan pendapat Rusfidra (2008) yang mengatakan bahwa rendahnya konsumsi
produk unggas tidak hanya disebabkan karena daya beli masyarakat yang rendah,
tapi juga disebabkan minimnya sosialisasi sadar gizi kepada masyarakat.
Usaha perunggasan dalam hal ini usaha ayam broiler di
Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari
sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ayam broiler ini memberikan
kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian. Berdasarkan proyeksi BAPPENAS,
pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 273,7 juta
jiwa. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia, Indonesia merupakan
pasar yang sangat besar (Rusfidra, 2008). Maka dapat dipastikan permintaan atas
daging ayam broiler akan meningkat, sehingga banyak investor-investor yang
mulai melirik peluang usaha peternakan ayam broiler. Dengan meningkatnya
populasi dan peternakan ayam broiler, maka dapat dipastikan lahan untuk
peternakan akan bersaing dengan lahan pemukiman penduduk, dan akan menyebabkan
polusi yang ditimbulkan dari kotoran ayam broiler, Selain itu Isu pemanasan
global (Global Warming) juga merupakan masalah bagi peternak saat ini, kerana
suhu bumi menjadi semakin panas. Pada dasarnya ayam broiler merupakan unggas
yang rentan terhadap suhu yang panas, untuk itu perlu penerapan teknologi dalam
mengelola peternakan ayam broiler sehingga dapat mengatasi permasalahan
lingkungan tersebut.
kandang closed tampak dari dalam full otomatis |
Perkembangan teknologi akhir-akhir ini sangat membantu
manusia dalam menyeleseikan pekerjaannya, seperti kehadiran teknologi terbaru
pada sistem perkandangan ayam broiler, yaitu sistem kandang dengan ventilasi
yang bisa diatur atau yang sering dikenal dengan sistem kandang tertutup
(Closed House). Sistem kandang tertutup merupakan kandang yang ramah
lingkungan, karena bau dari polusi yang ditimbulkan kotoran ayam dapat
dikurangi dengan bantuan kipas didalam
kandang. Selain itu pembangunan kandang tertutup tidak membutuhkan lahan yang
luas karena dapat meningkatkan kepadatan ayam dan kandang dapat dibuat dua atau
tiga lantai. Adapun faktor penghambat untuk menerapakan teknologi kandang
tertutup yaitu besarnya modal yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang, kerena
teknologi kandang tertutup merupakan usaha padat modal bukan usaha padat karya.
Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengemukakan bahwa teknologi harus bertujuan
menghasilkan keuntungan-keuntungan untuk menunjang kebijakan pembangunan yang
pada dasarnya mempertemukan dua aspek, yaitu penggalakan investasi dan
memaksimalkan penyerapan tenaga kerja.
No comments:
Post a Comment