Friday, October 23, 2009

Revolusi Peternakan Belum Selesai

Flu burung (avian influenza) memang menakutkan, tetapi bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Wabah ini telah makan korban jutaan unggas dan lebih dari 60 jiwa manusia dalam tiga tahun terakhir. Catatan terpenting adalah insiden korban jiwa tidak terjadi di sekitar peternakan skala komersial, tetapi di daerah permukiman.

Kerugian ekonomi yang diderita para peternak karena flu burung berkisar Rp 1 triliun (versi pemerintah) sampai Rp 5 triliun (versi peternak).

Apa pun ukuran yang digunakan, wabah flu burung harus ditanggulangi karena sektor peternakan merupakan urat nadi ekonomi rakyat yang mampu menyerap jutaan lapangan kerja.

Semakin lamban penanganan flu burung, vaksinasi, langkah isolasi, pemusnahan unggas yang tertular, dan biosafety lainnya, maka semakin buruklah kepercayaan pelaku ekonomi pada kinerja pemerintah sekarang.

Indonesia tidak boleh main-main dengan aktivitas sektor ekonomi yang sangat sensitif terhadap penyerapan lapangan kerja. Seperti diakui sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan pidato politik awal tahun 2007, pengangguran dan kemiskinan adalah dua masalah utama yang perlu memperoleh perhatian memadai.

Sektor peternakan sebenarnya dapat menjadi salah satu penghela pengangguran apabila para pejabat di tingkat pusat dan daerah tidak melakukan "kampanye negatif" terhadap sektor perunggasan atas nama penanggulangan flu burung.

Sesuatu yang hampir pasti adalah bahwa daging ayam dan telur adalah sumber protein hewani yang baik dengan harga yang dapat terjangkau banyak kalangan.

Ketika pertumbuhan sektor peternakan kembali di atas 3 persen per tahun pascakrisis ekonomi, banyak yang mengira bahwa Revolusi Peternakan sudah selesai.

Bahkan, tren angka pertumbuhan diperkirakan akan kembali tumbuh 7 persen per tahun seperti pada awal Revolusi Peternakan di Indonesia awal dekade 1980-an.

Konsumsi daging unggas

Prakiraan itu terbukti over-estimate, salah satunya karena serangan wabah flu burung. Pada tahun 1999, angka konsumsi protein dari daging unggas sebesar 16 kilokalori (kkal) dan berlipat menjadi 34,9 kkal.

Akan tetapi, wabah flu burung telah menurunkan laju pertumbuhan konsumsi daging unggas menjadi 32,6 kkal pada tahun 2005 (data dihitung dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik/Susenas BPS).

Konsumsi protein yang berasal dari telur tampak tidak terlalu terpengaruh karena flu burung. Pada tahun 1999, konsumsi protein dari telur hanya 13,3 kkal, kemudian meningkat menjadi 20,7 kkal pada tahun 2003.

Data terakhir Susenas tahun 2005 menunjukkan bahwa konsumsi protein yang berasal dari telur telah menunjukkan angka 23,4 kkal.

Karakter perubahan permintaan tinggi seperti inilah yang menjadi ciri khas Revolusi Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan ekonomi secara umum.

Sektor peternakan memang mewarnai perubahan konsumsi masyarakat dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi. Sekitar 56 persen dari konsumsi daging di Indonesia memang berasal dari unggas; cukup jauh dibandingkan dengan angka konsumsi daging sapi yang hanya 23 persen.

Walaupun demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya setara 4,5 kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau seperlima dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara maju.

Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha keras meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan peran nyata terhadap kualitas gizi dan protein masyarakat dan tentunya kecerdasan bangsa Indonesia secara umum.

Sesuai dengan karakter yang lebih dinamis, Revolusi Peternakan mensyaratkan peningkatan kapasitas sistem produksi dan distribusi yang lebih beradab serta antisipasi permasalahan lain, termasuk aspek eksternal lingkungan kebijakan, perdagangan internasional, dan sebagainya.

Para peternak tahu persis, apalagi yang berskala komersial, bahwa unggas yang diternakkan secara baik dan benar akan bebas dari flu burung dan aman dikonsumsi masyarakat.

Peternak ini seharusnya paham bahwa langkah individualistis yang emosional sebagai reaksi terhadap "kesemrawutan" tindakan pemerintah dalam menanggulangi flu burung dapat menghancurkan sektor peternakan sendiri.

Akhir Januari lalu, harga jual ayam pernah anjlok di bawah Rp 4.000 per kilogram atau tidak sampai Rp 8.000 per ekor ayam karena kepanikan para peternak sendiri.

Kalangan bandar (broker) dan rumah potong ayam menjadi penikmat rente menggiurkan tersebut karena harga jual ayam di tingkat konsumen masih sekitar Rp 12.000 per ekor.

Sependek pemahaman saya, saat ini tidak terdapat studi tata niaga ayam yang komprehensif yang dapat dijadikan acuan pengambilan kebijakan untuk menjaga iklim investasi di sektor perunggasan yang sebenarnya sangat potensial.

Sempat terjadi saling-silang pernyataan pejabat negara tentang status wabah flu burung, yaitu dianggap sebagai "kejadian luar biasa (KLB)" atau "bencana nasional".

Konon, status tersebut sangat berhubungan dengan strategi penanggulangan wabah beserta administrasi pemerintahan dan sistem penganggaran (baca: proyek) yang bersumber dari anggaran negara dan hibah lembaga asing.

Penanggulangan flu burung selama ini telah melibatkan Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Kantor Menko Kesra, Kantor Menko Perekonomian, dan Departemen Dalam Negeri yang dilaksanakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Sejak tahun lalu, Indonesia memiliki Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza atau umum disingkat Komnas Flu Burung yang dikuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006.

Aktivitas sehari-hari Komnas Flu Burung diemban oleh pelaksana harian Deputi Menko Perekonomian bidang pertanian dan perikanan.

Terdapat cukup banyak perangkat kebijakan yang berhubungan langsung dengan flu burung. Misalnya yang terbaru adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pemeliharaan Unggas di Permukiman; Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah, dan Nomor 1372/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung.

Kemudian, karena banyak sekali korban jiwa yang suspect flu burung, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tanggal 17 Januari 2007 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

Ucapan Gubernur Sutiyoso, "Pilih Selamat atau Mati", di depan kamera televisi dan dimuat sejumlah media menjadi sesuatu yang sangat fenomenal dalam kampanye penanggulangan flu burung.

Ucapan itu dapat berdampak positif untuk meningkatkan kesadaran warga Ibu Kota, tetapi dapat berdampak negatif karena akan terdapat kesan bahwa yang diperangi adalah unggas, bukan wabah flu burung.

Menariknya lagi, sehari setelah Instruksi Gubernur DKI itu, Mendagri kemudian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 440/93/SJ/2007 tentang Penanganan Flu Burung tanggal 18 Januari 2007, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.

Sebagaimana karakter administrasi birokrasi pada umumnya, SE Mendagri seperti itu telah mengundang berbagai macam interpretasi dan tindak lanjut yang sangat beragam di daerah.

Ada daerah yang sangat keras dan kaku melakukan pemusnahan unggas sampai melibatkan aparat berwajib, tetapi ada yang cukup lunak mengupayakan suatu peraturan daerah dan membahasnya bersama anggota parlemen di daerah karena begitu strategisnya sektor peternakan di daerah tersebut.

Ketika wabah flu burung tidak kunjung teratasi, Presiden SBY menyampaikan tujuh instruksi (secara lisan) pada tanggal 25 Januari 2007.

Sebenarnya, pemerintah konon sedang mempersiapkan Instruksi Presiden itu secara tertulis dan menjadi produk kebijakan yang mengikat. Dengan "alur mundur" seperti itu, masyarakat bisa menilai kualitas kebijakan penanggulangan flu burung di negeri ini.

Langkah penanggulangan flu burung di Indonesia sebenarnya merupakan adaptasi dari sistem zone base dan country base yang ditawarkan Badan Kesehatan Hewan Dunia. Pemerintah wajib melaksanakan program sejenis community development, mendorong partisipasi masyarakat memantau lalu lintas perdagangan ternak antarzona.

by Bustanul Arifin Guru Besar UNILA dan Dosen Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB

Thursday, October 22, 2009

Closed House Sebuah Solusi Mengatasi ”Global Warming”

Seluruh masyarakat didunia sedang berlomba meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa maju mundurnya negara tergantung dari kualitas SDM warga negaranya. Banyak negara yang sumber daya alamnya melimpah menjadi obyek eksploitasi negara lain karena tidak bisa mengolah sumber daya alam tersebut, disisi lain banyak negara yang memiliki SDA terbatas, namun mempunyai SDM yang baik akan mampu mencapai kesejahteraan yang tinggi. Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengatakan bahwa untuk mewujudkan peningkatan produksi nasional harus tersedia sumber daya alam yang cukup, modal yang besar, peningkatan teknologi, dan peran sumber daya manusia. Jepang mempunyai lahan pertanian yang sangat sempit, tapi dengan SDM yang berkualitas negara tersebut dapat menciptakan teknologi sehingga mampu meningkatkan produksi pertanainnya (Arifin, 2001). Bukti-bukti empirik telah menjelaskan bahwa suatu negara tidak akan maju apabila tidak didukung oleh pembangunan sumber daya manusia yang bermutu. SDM yang bermutu adalah meraka yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi, pandai dalam menajemen, dan menerapkan teknologi yang canggih, selain itu untuk membangun SDM yang berkualitas harus menyentuh banyak aspek. Namun fokus utamanya mutlak diletakkan pada upaya peningkatan kualitas dasar penduduk dalam hal fisik dan intelegensia.

Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat, karena kualitas pangan sangat menentukan tingkat pertumbuhan fisik dan kecerdasan penduduk, disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Produk peternakan yang dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan utama dan dikonsumsi oleh manusia, pada umumnya terdiri atas tiga komoditas, yaitu: daging, susu, dan telur. Menurut Daryanto (2008) bahan pangan hewani merupakan sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan berperan untuk membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, produktif dan berkualitas.

Statistik Peternakan menunjukkan bahwa dari ketiga produk tersebut, unggas merupakan kontributor terbanyak dalam penyediaan daging nasional, sekitar 1.355.841 Ton (65,46 %) dari total produksi daging (TPD) dengan rincian ayam lokal 322.780 (23.9%), ayam ras petelur 54.312 (4.0%), ayam ras pedaging 955.756 (70,5%) dan Itik 22.295 (1,6%); dikuti oleh Sapi (389.294 Ton, 18,80 % TPD); Babi (179.441 Ton, 8,67 % TPD); Kambing (53.227 Ton, 2,57 % TPD); Domba (51.894 Ton, 2,51 % TPD); Kerbau (39.503 Ton, 1,91 % TPD) dan terakhir Kuda (1.682 Ton, 0.08 % TPD)  (Ditjennak, 2006). Menurut Siagian (2008) tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, hanya 4,7 gram/kapita/hari jauh dari target 6 gram/kapita/hari. Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi protein hewani hanya 78,3% dari target nasional.
kandang closed house

Daryanto (2008) mengatakan bahwa rendahnya konsumsi protein hewani penduduk Indonesia disebabkan karena lemahnya daya beli masyarakat, selain itu kasus Avian Influenza (AI) belum dapat diselesaikan secara tuntas, serta rendahnya sosialisasi sadar gizi terhadap masyarakat Indonesia. Hal itu senada dengan pendapat Rusfidra (2008) yang mengatakan bahwa rendahnya konsumsi produk unggas tidak hanya disebabkan karena daya beli masyarakat yang rendah, tapi juga disebabkan minimnya sosialisasi sadar gizi kepada masyarakat.

Usaha perunggasan dalam hal ini usaha ayam broiler di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ayam broiler ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian. Berdasarkan proyeksi BAPPENAS, pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 273,7 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar (Rusfidra, 2008). Maka dapat dipastikan permintaan atas daging ayam broiler akan meningkat, sehingga banyak investor-investor yang mulai melirik peluang usaha peternakan ayam broiler. Dengan meningkatnya populasi dan peternakan ayam broiler, maka dapat dipastikan lahan untuk peternakan akan bersaing dengan lahan pemukiman penduduk, dan akan menyebabkan polusi yang ditimbulkan dari kotoran ayam broiler, Selain itu Isu pemanasan global (Global Warming) juga merupakan masalah bagi peternak saat ini, kerana suhu bumi menjadi semakin panas. Pada dasarnya ayam broiler merupakan unggas yang rentan terhadap suhu yang panas, untuk itu perlu penerapan teknologi dalam mengelola peternakan ayam broiler sehingga dapat mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
kandang closed tampak dari dalam full otomatis

Perkembangan teknologi akhir-akhir ini sangat membantu manusia dalam menyeleseikan pekerjaannya, seperti kehadiran teknologi terbaru pada sistem perkandangan ayam broiler, yaitu sistem kandang dengan ventilasi yang bisa diatur atau yang sering dikenal dengan sistem kandang tertutup (Closed House). Sistem kandang tertutup merupakan kandang yang ramah lingkungan, karena bau dari polusi yang ditimbulkan kotoran ayam dapat dikurangi dengan bantuan  kipas didalam kandang. Selain itu pembangunan kandang tertutup tidak membutuhkan lahan yang luas karena dapat meningkatkan kepadatan ayam dan kandang dapat dibuat dua atau tiga lantai. Adapun faktor penghambat untuk menerapakan teknologi kandang tertutup yaitu besarnya modal yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang, kerena teknologi kandang tertutup merupakan usaha padat modal bukan usaha padat karya. Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengemukakan bahwa teknologi harus bertujuan menghasilkan keuntungan-keuntungan untuk menunjang kebijakan pembangunan yang pada dasarnya mempertemukan dua aspek, yaitu penggalakan investasi dan memaksimalkan penyerapan tenaga kerja.