Flu burung (avian influenza) memang menakutkan, tetapi bukan
berarti tidak dapat ditanggulangi. Wabah ini telah makan korban jutaan unggas
dan lebih dari 60 jiwa manusia dalam tiga tahun terakhir. Catatan terpenting
adalah insiden korban jiwa tidak terjadi di sekitar peternakan skala komersial,
tetapi di daerah permukiman.
Kerugian ekonomi yang diderita para peternak karena flu
burung berkisar Rp 1 triliun (versi pemerintah) sampai Rp 5 triliun (versi
peternak).
Apa pun ukuran yang digunakan, wabah flu burung harus
ditanggulangi karena sektor peternakan merupakan urat nadi ekonomi rakyat yang
mampu menyerap jutaan lapangan kerja.
Semakin lamban penanganan flu burung, vaksinasi, langkah
isolasi, pemusnahan unggas yang tertular, dan biosafety lainnya, maka semakin
buruklah kepercayaan pelaku ekonomi pada kinerja pemerintah sekarang.
Indonesia tidak boleh main-main dengan aktivitas sektor
ekonomi yang sangat sensitif terhadap penyerapan lapangan kerja. Seperti diakui
sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan pidato
politik awal tahun 2007, pengangguran dan kemiskinan adalah dua masalah utama
yang perlu memperoleh perhatian memadai.
Sektor peternakan sebenarnya dapat menjadi salah satu
penghela pengangguran apabila para pejabat di tingkat pusat dan daerah tidak
melakukan "kampanye negatif" terhadap sektor perunggasan atas nama
penanggulangan flu burung.
Sesuatu yang hampir pasti adalah bahwa daging ayam dan telur
adalah sumber protein hewani yang baik dengan harga yang dapat terjangkau
banyak kalangan.
Ketika pertumbuhan sektor peternakan kembali di atas 3 persen
per tahun pascakrisis ekonomi, banyak yang mengira bahwa Revolusi Peternakan
sudah selesai.
Bahkan, tren angka pertumbuhan diperkirakan akan kembali
tumbuh 7 persen per tahun seperti pada awal Revolusi Peternakan di Indonesia
awal dekade 1980-an.
Konsumsi daging unggas
Prakiraan itu terbukti over-estimate, salah satunya karena
serangan wabah flu burung. Pada tahun 1999, angka konsumsi protein dari daging
unggas sebesar 16 kilokalori (kkal) dan berlipat menjadi 34,9 kkal.
Akan tetapi, wabah flu burung telah menurunkan laju
pertumbuhan konsumsi daging unggas menjadi 32,6 kkal pada tahun 2005 (data
dihitung dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik/Susenas
BPS).
Konsumsi protein yang berasal dari telur tampak tidak
terlalu terpengaruh karena flu burung. Pada tahun 1999, konsumsi protein dari
telur hanya 13,3 kkal, kemudian meningkat menjadi 20,7 kkal pada tahun 2003.
Data terakhir Susenas tahun 2005 menunjukkan bahwa konsumsi
protein yang berasal dari telur telah menunjukkan angka 23,4 kkal.
Karakter perubahan permintaan tinggi seperti inilah yang
menjadi ciri khas Revolusi Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada
pencapaian ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan
ekonomi secara umum.
Sektor peternakan memang mewarnai perubahan konsumsi
masyarakat dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan
protein tinggi. Sekitar 56 persen dari konsumsi daging di Indonesia memang
berasal dari unggas; cukup jauh dibandingkan dengan angka konsumsi daging sapi
yang hanya 23 persen.
Walaupun demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya
setara 4,5 kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau seperlima
dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara maju.
Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha keras
meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan peran nyata terhadap
kualitas gizi dan protein masyarakat dan tentunya kecerdasan bangsa Indonesia
secara umum.
Sesuai dengan karakter yang lebih dinamis, Revolusi
Peternakan mensyaratkan peningkatan kapasitas sistem produksi dan distribusi
yang lebih beradab serta antisipasi permasalahan lain, termasuk aspek eksternal
lingkungan kebijakan, perdagangan internasional, dan sebagainya.
Para peternak tahu persis, apalagi yang berskala komersial,
bahwa unggas yang diternakkan secara baik dan benar akan bebas dari flu burung
dan aman dikonsumsi masyarakat.
Peternak ini seharusnya paham bahwa langkah individualistis
yang emosional sebagai reaksi terhadap "kesemrawutan" tindakan
pemerintah dalam menanggulangi flu burung dapat menghancurkan sektor peternakan
sendiri.
Akhir Januari lalu, harga jual ayam pernah anjlok di bawah
Rp 4.000 per kilogram atau tidak sampai Rp 8.000 per ekor ayam karena kepanikan
para peternak sendiri.
Kalangan bandar (broker) dan rumah potong ayam menjadi
penikmat rente menggiurkan tersebut karena harga jual ayam di tingkat konsumen
masih sekitar Rp 12.000 per ekor.
Sependek pemahaman saya, saat ini tidak terdapat studi tata
niaga ayam yang komprehensif yang dapat dijadikan acuan pengambilan kebijakan
untuk menjaga iklim investasi di sektor perunggasan yang sebenarnya sangat
potensial.
Sempat terjadi saling-silang pernyataan pejabat negara
tentang status wabah flu burung, yaitu dianggap sebagai "kejadian luar
biasa (KLB)" atau "bencana nasional".
Konon, status tersebut sangat berhubungan dengan strategi
penanggulangan wabah beserta administrasi pemerintahan dan sistem penganggaran
(baca: proyek) yang bersumber dari anggaran negara dan hibah lembaga asing.
Penanggulangan flu burung selama ini telah melibatkan
Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Kantor Menko Kesra, Kantor Menko
Perekonomian, dan Departemen Dalam Negeri yang dilaksanakan pemerintah provinsi
dan pemerintah kabupaten/kota.
Sejak tahun lalu, Indonesia memiliki Komisi Nasional
Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza atau
umum disingkat Komnas Flu Burung yang dikuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor
7 Tahun 2006.
Aktivitas sehari-hari Komnas Flu Burung diemban oleh
pelaksana harian Deputi Menko Perekonomian bidang pertanian dan perikanan.
Terdapat cukup banyak perangkat kebijakan yang berhubungan
langsung dengan flu burung. Misalnya yang terbaru adalah Peraturan Menteri
Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pemeliharaan Unggas
di Permukiman; Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung sebagai Penyakit yang Dapat
Menimbulkan Wabah, dan Nomor 1372/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Kondisi
Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung.
Kemudian, karena banyak sekali korban jiwa yang suspect flu
burung, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor
5 Tahun 2007 tanggal 17 Januari 2007 tentang Pelaksanaan Pengendalian
Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.
Ucapan Gubernur Sutiyoso, "Pilih Selamat atau
Mati", di depan kamera televisi dan dimuat sejumlah media menjadi sesuatu
yang sangat fenomenal dalam kampanye penanggulangan flu burung.
Ucapan itu dapat berdampak positif untuk meningkatkan
kesadaran warga Ibu Kota, tetapi dapat berdampak negatif karena akan terdapat
kesan bahwa yang diperangi adalah unggas, bukan wabah flu burung.
Menariknya lagi, sehari setelah Instruksi Gubernur DKI itu,
Mendagri kemudian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 440/93/SJ/2007 tentang
Penanganan Flu Burung tanggal 18 Januari 2007, yang ditujukan kepada gubernur
dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.
Sebagaimana karakter administrasi birokrasi pada umumnya, SE
Mendagri seperti itu telah mengundang berbagai macam interpretasi dan tindak
lanjut yang sangat beragam di daerah.
Ada daerah yang sangat keras dan kaku melakukan pemusnahan
unggas sampai melibatkan aparat berwajib, tetapi ada yang cukup lunak mengupayakan
suatu peraturan daerah dan membahasnya bersama anggota parlemen di daerah
karena begitu strategisnya sektor peternakan di daerah tersebut.
Ketika wabah flu burung tidak kunjung teratasi, Presiden SBY
menyampaikan tujuh instruksi (secara lisan) pada tanggal 25 Januari 2007.
Sebenarnya, pemerintah konon sedang mempersiapkan Instruksi
Presiden itu secara tertulis dan menjadi produk kebijakan yang mengikat. Dengan
"alur mundur" seperti itu, masyarakat bisa menilai kualitas kebijakan
penanggulangan flu burung di negeri ini.
Langkah penanggulangan flu burung di Indonesia sebenarnya
merupakan adaptasi dari sistem zone base dan country base yang ditawarkan Badan
Kesehatan Hewan Dunia. Pemerintah wajib melaksanakan program sejenis community
development, mendorong partisipasi masyarakat memantau lalu lintas perdagangan
ternak antarzona.
by Bustanul Arifin Guru Besar UNILA dan Dosen Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB
by Bustanul Arifin Guru Besar UNILA dan Dosen Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB