Monday, December 14, 2009

Sejarah Keberadaan Ayam Broiler


Tidak semua orang memahami asal-muasal atau seluk-beluk perkembangan ayam broiler, meskipun hampir setiap harinya orang mendengar atau bahkan bisa jadi mengkonsumsi daging dan telur ayam broiler. Bagi mereka ketidakpahaman tersebut memang tidak perlu dipersoalkan, tetapi bagi peternak atau calon peternak pengetahuan tentang asal-muasal atau seluk-beluk perkembangan ayam broiler dari waktu ke waktu penting dimiliki. Hal itu penting karena pemahaman yang baik tentang karakteristik atau sifat-sifat ayam broiler dapat membantu dalam melancarkan usahanya dalam beternak ayam broiler, baik untuk tipe ayam pedaging maupun petelur. Terlebih lagi, pemahaman mengenai jenis-jenis ayam broiler yang unggul perlu diketahui oleh setiap peternak agar dalam usaha  ternaknya dapat mendatangkan keuntungan.

Berkaitan dengan hal itu saat ini dikenal adanya istilah ayam broiler komersial karena usaha peternakan hewan unggas ini tidak terlepas dari orientasi atau tujuan mendatangkan keuntungan. Dengan pernyataan lain, usaha peternakan ayam broiler tidak hanya diperuntukkan bagi konsumsi sendiri melainkan untuk diperjualbelikan atau diperdagangkan sehingga diperoleh suatu keuntungan finansial (keuangan).
Usaha peternakan ayam broiler komersial dewasa ini tumbuh subur dibeberapa negara, termasuk di Indonesia. Usaha peternakan ayam broiler komersial dilakukan menggunakan strains atau bibit ayam broiler unggulan. Strains ayam broiler unggulan diperoleh dari usaha penyilangan ayam unggulan. Semula strains ayam broiler unggulan diperoleh dengan melakukan penetasan alami atau menitipkan pada induk ayam. Pada perkembangan waktu-waktu selanjutnya yakni pada tahun 1844, di amerika didirikan pabrik penetasan (hatcheri) telur ayam untuk pertama kali. Saat ini telah dikenal berbagai jenis strains ayam broiler unggul yang dikembangkan di berbagai negara. Contohnya, di Italia dikenal terdapat strains ayam Leghorn paling diunggulkan dan banyak dikembangkan sebagai hewan unggas yang diternakkan secara komersial.

Di Amerika Serikat terdapat beberapa jenis atau strains ayam unggulan seperti Rhode Island Red, Cobb, Arbor Arcres, dan Avian yang sekarang ini diunggulkan dan banyak diternakkan secara komersial. Di Australia saat ini terdapat strains Australorp sebagai primadona hewan unggas untuk diternakkan secara komersial. Di Prancis mempunyai strains ayam unggulan yang dinamakan Isa Veddete dan Shaper. Di Belanda dikenal strains ayam Hybro dan Hubbart sebagai strains ayam yang diunggulkan untuk diternakkan secara komersial, dan masih banyak lagi yang lain.

Perkembangan dan penyebaran ayam broiler komersial ke seluruh dunia amat disokong oleh diberlakukannya sistem pasar bebas di era globalisasi. Para ahli genetika secara terus-menerus dilakukan penelitian, persilangan, dan seleksi yang ketat sehingga pada akhirnya dihasilkan varietas ayam broiler unggulan yang khusus menghasilka salah satu produk komersial yaitu daging atau telur. Trend beternak ayam broiler komersial waktu-waktu selanjutnya dilakukan lebih khusus, misalnya beternak ayam broiler komersial penghasil daging atau telur saja, tidak kedua-duanya. Dengan begitu hasilnya dapat maksimal.
Dewasa ini telah dihasilkan tidak kurang dari tiga ratus bibit ayam broiler murni dan varietas ayam terseleksi dari potensi genetikanya. Jenis atau varietas ayam broiler unggulan tersebut telah menyebar ke seluruh dunia, termasuk Indonesia. Beberapa potensi genetik pada ayam broiler
unggulan yang telah ditingkatkan tersebut meliputi ukuran tubuh ayam broiler unggulan lebih besar, ayam memiliki proporsi daging karkas yang tinggi, ayam memiliki kerangka tulang yang lebih kuat, pertumbuhan badan ayam terhitung lebih cepat, ayam mempunyai warna kulit putih atau kuning yang bersih, lebih tahan terhadap penyakit, dan yang lebih penting sebagai ayam broiler komersial memiliki konversi pakan yang baik sehingga lebih mendatangkan keuntungan besar bagi setiap peternak.

Perkembangan ayam broiler di Indonesia dapat dimulai abad ke- 19. Pada saat itu benua Eropa dan ebnua Amerika sangat familiar dengan ayam Sumatra. Kondisi tersebut mendorong para pakar perunggasan kedua benua tersebut untuk melakukan penelitian terhadap ayam Sumatra. Pada abad ke-20 para pakar kedua benua itu menugaskan salah seorang pakar perunggasan yang terkenal pada waktu itu bernama J.F. Mohede mengadakan penelitian tentang ayam Sumatra. Beberapa jenis ayam Sumatra memang terkenal di masa lalu karena berbagai kelebihannya. Selain meneliti ayam Sumatra, pakar dari negara asing itu juga meneliti ayam Kedu. Bahkan tidak hanya J.F. Mohede yang mengadakan penelitian terhadap ayam Kedu, tetapi juga disertai ahli yang lain yakni J. Menkens. Penelitian kedua orang pakar perunggasan tersebut dilakukan pada tahun 1937. Saat itu ayam Kedu terkenal mempunyai kelebihan-kelebihan atau keunggulan-keunggulan dibandingkan dengan ayam yang lain, di antaranya tahan terhadap berbagai jenis penyakit, tingkat pertumbuhan tinggi, produksi telur tinggi, cita rasa daging yang enak, dan pemeliharaan yang mudah. Tidak heran jika ayam Kedu merupakan salah satu nenek moyang dari ayam ras yang terbentuk di Amerika dan Inggris seperti ayam Sussex, ayam Cornish, ayam Orpington, ayam Australorp, dan ayam Dorking

Perkembangan populasi ayam komersial di Indonesia tercatat dimulai pada pertengahan dasawarsa 1970-an. Perkembangan itu mencapai puncaknya pada awal 1980-an. Faktor-faktor yang menentukan perkembangan populasi ayam broiler komersial di berbagai daerah di Indonesia antara lain sejalan dengan pertumbuhan populasi penduduk, pergeseran gaya hidup, tingkat pendapatan, perkembangan situasi ekonomi dan politik, serta kondisi keamanan suatu wilayah atau daerah di Indonesia. Daerah perkembangan ayam broiler saat itu belum merata di seluruh wilayah Indonesia. Daerah pusat penyebaran ayam broiler di wilayah Indonesia. Daerah pusat penyebaran ayam broiler di wilayah Indonesia bagian Bbarat meliputi wilayah Pulau Jawa dan sebagian Sumatra.
Mengapa hanya terjadi di kedua wilayah tersebut, yaitu Pulau Jawa dan sebagian Sumatra? Hal itu disebabkan hampir semua perusahaan pembibitan ayam broiler komersial dan pangsa pasar terbesarnya di dominasi di kedua wilayah itu. Berkaitan dengan pangsa pasar terbesar berada di pulau Jawa lebih disebabkan penduduk di Pulau Jawa merupakan terbanyak jumlahnya di Indonesia. Dengan demikian dapat dimaklumi bahwa produksi ayam briler terbesar berada di Pulau Jawa. Beberapa contoh perusahaan yang memproduksi bibit ayam broiler dan strains komersial di antaranya PT. Anwar Sierads yang berlokasi di Jawa Barat memproduksi strains Cobb, PT. Charoen Pokphand Indonesia yang berlokasi di Jawa Barat dan Jawa Timur memproduksi strains AA, Avian, Cobb, dan Hubbard. Strains Cobb juga diproduksi oleh PT. Leong Ayam Satu P. yang berlokasi di Jawa Barat, PT. Wonokoyo Jaya Farm yang berlokasi di Jawa Barat yang juga memproduksi strains Hubbard, dan PT. Galur P. Cobbindo yang berlokasi di Jawa Barat. Sementara PT. Pet. Ayam Manggis yang berlokasi di Jawa Barat memproduksi strains Hybro, PT. Kerta Mulya Sejahterayang berlokasi di Jawa Barat strains Hubbard, dan PT. Cibadak Indah Sari Farm yang berlokasi di Jawa Barat merupakan produsen strains Ross. Perkembangan pesat ayam broiler komersial di Indonesia terjadi di Pulau Jawa disebabkan konsumen ayam broiler paling banyak terdapat di Pulau Jawa. Hal itu amat sesuai dengan karakteristik atau sifat dari ayam broiler itu sendiri yakni produksi ayam broiler sesungguhnya tidak menghendaki terlalu jauh dari konsumen. Hal tersebut dikarenakan dua alasan pokok yaitu sifat ayam broiler itu sendiri dan karena pertimbangan biaya transportasi. Ayam broiler merupakan produk peternakan yang pada umumnya mempunyai sifat mudah rusak. Ayam broiler hasil panen yang terlalu lama dalam perjalanan menuju ke tempat konsumen atau pengolahan bisa mati dijalan akibat kepanasan, kehausan, kelaparan, atau stress. Demikian pula bibit ayam atau Day Old Chick (D.O.C) yang dikirim menuju farm yang terlalu jauh juga riskan kematian. Sedangkan biaya transportasi menjadi pertimbangan penting dalam usaha peternakan ayam broiler komersial. Jarak antara konsumen dengan produsen yang terlalu jauh akan memperbesar biaya transportasi sehingga mengurangi bahkan meniadakan keuntungan dalam usaha.  Perkembangan populasi ayam broiler di wilayah lain, yaitu di Indonesia bagian tengah meliputi daerah di propinsi-propinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Sedangkan di wilayah Indonesia bagian timur meliputi daerah-daerah di Pulau Sulawesi.
Mengingat pentingnya ayam sebagai sumber protein hewani bagi manusia dan dapat diusahakan (dibesarkan) dalam waktu relatif singkat, maka hewan unggas ini menjadi tumpuan pilihan dan banyak diternakkan secara komersial di berbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia. Cepatnya masa panen yang dicapai dari usaha pembesaran ayam brolier menjadikannya hewan unggas tersebut sebagai primadona para peternak ayam. Ayam ras brolier atau pedaging sempat menjadi idola karena pada umur 39 – 40 hari bisa mencapai bobot 1,8kg. Padahal bobot yang sama baru bisa dicapai ayam kampung biasa pada umur lebih dari 3 bulan. Bahkan kini ayam broiler modern bisa mencapai bobot yang sama pada umur 31 – 32 hari. Dengan kata lain, ayam broiler yang dipelihara saat ini lebih cepat besar dibandingkan ayam broiler zaman dulu atau ayam broiler klasik.
Sejalan dengan hal itu mendorong peternak ayam broiler meningkatkan terus kapasitas usahanya sehingga akan dapat memenuhi permintaan pasar akan daging ayam broiler yang berkualitas baik. Sampai saat ini belum semua permintaan pasar akan daging ayam broiler dapat dipenuhi. Terbuka peluang yang cukup besar untuk mengusahakan atau beternak ayam broiler komersial. Usaha peternakan ayam pedaging atau sering disebut dengan ayam broiler komersial merupakan usaha yang sangat menguntungkan. Mengapa begitu? Dalam perhitungan di atas kertas, usaha ternak ayam broiler komersial menjanjikan perputaran modal yang relatif cukup singkat dan cepat (35 – 40 hari). Dapat dibayangkan dalam waktu kurang dari satu setengah bulan ayam broiler modern telah dapat dipanen. Artinya dalam kurun waktu lurang dari satu setengah bulan peternak ayam broiler komersial telah dapat mengantongi keuntungan dari usaha peternakannya. Pemanenan ternak ayam komersial pada umur 30 – 35 hari sering disebut produksi ‘ayam kecil’. Ayam jenis ini biasanya dipelihara diarea panas atau dekat dengan kota besar. Langkah ini ditempuh atau dipilih peternak untuk memenuhi tuntutan kebutuhan akan daging ayam broiler dengan waktu relatif singkat. Selain produksi ‘ayam kecil’, di pasaran beredar pula ‘ayam besar’ dengan kisaran berat antara 2 – 2,5kg. Ayam broiler yang demikian ini dipanen pada umur pemeliharaan dalam kandang sekitar 40 hari.

Tingkat kecepatan produksi pada ayam broiler sangat ditentukan oleh faktor genetis yang terdapat pada diri ayam broiler tersebut. Faktor genetis tersebut dikondisikan melalui penelitian-penelitian yang dilakukan oleh para pakar unggas secara terus-menerus dan berkesinambungan. Para ahli terus-menerus melakukan perbaikan genetis untuk menghasilkan bibit ayam broiler komersial yang semakin unggul. Setiap tahun, bisa dikatakan pencapaian pertumbuhan broiler secara genetis maju 1 hari. Sebagai gambarannya, dalam 50 tahun terakhir laju pertumbuhan broiler maju 50 hari untuk mencapai bobot badan yang sama. Sampai-sampai para ahli genetika membuat guyonan bahwa apabila sekarang ayam umur 35 hari bisa mencapai bobot 1,7kg, maka dalam 35 tahun ke depan , ayam yang hari ini beru menetas – besok beratnya sudah mencapai 1,7kg. Tentu hal tersebut belum tentu benar, namun berkat jerih payah atau kerja keras mereka itulah pada saat ini diperoleh varietas ayam broiler unggul. Semua dapat terjadi tidak dapat dilepaskan dari peran kemajuan di bidang ilmu dan teknologi akhir-akhir ini. Sejatinya kemajuan di bidang peternakan ayam karena adanya dukungan perkembangan teknologi dunia.

Dilihat dengan menggunakan kacamata ekonomi beternak ayam terutama ayam broiler skala komersial nyata-nyata memberikan banyak kenuntungan secara finansial dan bisa menjadi tambatan mencari nafkah. Selain itu, beternak ayam mengandung kearifan lokal di antaranya untuk memenuhi kebutuhan khalayak luas akan protein hewani, dapat menyerap tenaga lokal, mulai dari pembangunan kandang , pemeliharaan/pembesaran ternak, sampai tahap pemanenan hasil dan penanganan pasca panen, membangun kerjasama sinergis dengan petani yang menghasilkan sekam (padi) dan tanaman keras seperti kayu, bambu, dan lain-lain untuk pembuatan kandang ayam, kotoran ayam dapat digunakan sebagai pupuk kandang tanaman budidaya oleh petani, dan lain-lain.

Secara kualitatif dapat dinyatakan bahwa hingga saat ini kebutuhan akan daging ayam broiler sebagai sumber bahan makanan yang kaya zat protein terus mengalami peningkatan seiring dengan pertumbuhan jumlah pnduduk dan kenaikan taraf ekonomi masyarakat. Dengan demikian usaha di bidang ternak ayam broiler penghasil daging memiliki prospek yang cerah untuk dikembangkan dan akan menghasilkan keuntungan finansial bagi peternaknya.


Friday, November 27, 2009

Analisis Usaha Pemeliharaan Ayam


Usaha pemeliharaan ayam telah lama dilaksanakan, bahkan belakangan ini telah banyak dipelihara baik secara perorangan di rumah tangga dalam jumlah yang relatif terbatas, juga oleh para peternak yang telah lama bergerak dalam usaha ini tertentunya dalam jumlah yang relatif besar.

Banyaknya para peternak ayam potong yang ada hingga sampai saat ini merupakan suatu nilai yang positif untuk menunjang kontribusi kepada pemerintah dan masyarakat dalam rangka ikut memenuhi permintaan pasar terhadap protein hewani asal ternak dari hari ke hari semakin bertambah kebutuhannya.

Permintaan pasar akan daging ayam potong dewasa ini sudah mulai dirasakan oleh para peternak, distributor dan penyalur lainnya. Hal ini disebabkan adanya peningkatan permintaan bibit semakin bertambah dan tingkat penjualan hasil semakin baik. Tingkat konsumsi daging ayam potong yang dulunya kurang digemari oleh masyarakat Aceh umumnya, akibat rasa (palatabilitas) yang kurang disenangi tapi dewasa ini kebiasaan tersebut semakin menghilang bahkan masyarakat sudah lebih menyenangi daging ayam potong.

Tantangan dan problema yang dihadapi oleh para peternak ayam potong sangat komplit, mulai dari segi teknis yaitu menyangkut dengan sistem, metode dan tatalaksana pemeliharaan juga masalah non-teknis yaitu menyangkut segi manajemen bisnis ekonomi yang menguntungkan.

Ketergantungan penyediaan/distribusi bibit anak ayam (DOC) dari Medan merupakan tantangan yang sangat berarti bagi para pertenak disaat peternak butuh bibit dalam jumlah agak banyak kadang kala tidak dapat dipenuhi oleh penyalur, disaat situasi dan kondisi ekonomi yang tidak stabil kadang kala persediaan bibit membengkak. Kejadian ini sangat mempengaruhi biaya/modal yang dikeluarkan sehingga tingkat pendapatan relatif tidak stabil.

Sarana produksi lain yang tidak kalah pentingnya adalah pakan, obat-obatan/vaksin, feed suplemen, dan peralatan lainnya yang diperlukan dalam rangka meningkatkan produktivitas ternak ayam potong pada khususnya masih didatangkan dari Medan, sehingga semua aspek mulai dari kualitas dan harga sangat ditentukan oleh produser atau distributor di Medan, disamping itu biaya tataniaga juga sangat mempengaruhi harga pada tingkat penyalur yang pada akhirnya peternak dan konsumen yang terbebani.

Belum adanya pengusaha plasma yang bergerak di sub sektor ini merupakan tantangan yang sangat besar bagi peternak terutama dalam segi penyediaan sarana produksi, pembinaan dan pemasaran hasil.

Dengan adanya usaha yang dilakukan pemerintah khususnya Dinas Peternakan, penyalur, distributor dan lembaga terkait lainnya dalam rangka meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan (PSK) Peternak dengan harapan tingkat kesejahteraan peternak lebih baik.

Tingkat pengetahuan, sikap, dan keterampilan peternak ayam potong sudah mulai meningkat, walaupun masih ada diantara peternak yang tidak menghiraukan bagaimana tata cara pemeliharaan ayam potong yang baik dan menguntungkan sehingga berpengaruh pada pendapatan dan kelayakan usaha peternak ayam potong.

Ayam potong (broiler) merupakan ternak yang paling ekonomis bila dibandingkan dengan ternak lain, kelebihan yang dimiliki adalah kecepatan pertambahan/produksi daging dalam waktu yang relatif cepat dan singkat atau sekitar 4-5 minggu produksi daging sudah dapat dipasarkan atau dikonsumsi. Yang dimaksud dengan ayam potong (broiler) adalah ayam yang muda jantan atau betina yang berumur dibawah 8 minggu dengan bobot tertentu, pertumbuhan yang cepat timbunan daging baik dan banyak.
Atau ayam muda yang berumur kurang dari 8 minggu, daging lembut, empuk, dan gurih dengan bobot hidup berkisar antara 1,5 – 2,0 kg per ekor.

Pemeliharaan ayam potong sifatnya cepat berproduksi dengan perputaran yang dapat diatur, modal yang relatif kecil dan dapat diusahakan lebih dekat dengan konsumen sebagai sarana pemasaran, sehingga biaya tata niaga pemasaran dapat ditekan seefisien mungkin.
Dalam suatu usaha peternakan ayam broiler secara terpadu, kemampuan peternak dalam berbisnis, pengelolaan dan pemahaman akan teknis beternak harus seimbang dan selaras. Sehingga untuk menjadikan peternak sukses, peternak harus memiliki tiga unsur yaitu teknis produksi, manajemen, dan pemasaran.
Untuk menunjang produksi yang tinggi perlu diperhatikan tiga faktor yang saling terkait, yaitu menggunakan bibit unggul, makanan yang memenuhi syarat dalam sistem pengelolaan yang baik.

Modal dapat dibagi kepada dua jenis yaitu:
1. Modal tetap (investasi) merupakan modal yang dapat tahan lama dalam proses produksi.
2. Modal tidak tetap (variabel) merupakan modal yang habis pakai dalam satu kali proses produksi.

Modal merupakan faktor produksi yang terdiri dari modal sendiri (equiy capital) dan modal pinjaman (credit), yang pada dasarnya tidak ada perbedaan dalam proses produksi.

Biaya adalah nilai dari semua korbanan ekonomi yang diperlukan untuk menghasilkan suatu produksi atau semua pengeluaran yang dinyatakan dengan uang untuk menghasilkan suatu produksi. Komponen biaya yang dimaksud adalah biaya bangunan, alat dan perkakas, tanah, bunga modal, upah tenaga kerja, sarana produksi habis pakai dalam satu kali produksi adalah bibit, makanan, obat-obatan dan lain-lain.

Biaya merupakan korbanan ekonomi yang dikeluarkan dalam suatu usaha disebut juga dengan modal, yang menjadi modal tetap yang terdiri dari biaya pembuatan kandang perawatan barang tahan lama lainnya. Biaya ini dihitung dalam bentuk penyusutan pada setiap periode kegiatan pertahun. Sedangkan modal kerja terjadi dari biaya produksi habis pakai dalam setiap kali produksi atau periode pemeliharaan, seperti biaya pembelian bibit, pakan, obat-obatan, upah tenaga kerja, perbaikan kandang dan kebutuhan lainnya.

Ada tiga piranti atau ukuran kelayakan usaha yang bisa digunakan utnuk menganalisis suatu usaha bisnis yaitu NPV (Net Present Value), ROI ( Return of Investment), dan BEP (Break Even Point).
Nilai NPV dapat dipengaruhi oleh tiga faktor keadaan usaha yaitu sebagai berikut:
1. Usaha masih dalam tahap investasi dan belum berproduksi
2. Usaha berada pada masa puncak produksi dan didukung oleh harga pasar yang tinggi serta produksi lagi dibutuhkan.
3. Usaha berada pada masa produksi puncah yaitu pada masa permulaan dan akhir produksi (masa istirahat/afkir).

ROI digunakan untuk mengetahui tingkat efisiensi dari modal yang telah dikeluarkan, makin kecil nilai ROI maka makin efisien dalam penggunaan modal usaha.

BEP dimaksudkan untuk mengetahui titik impas yaitu usaha tidak mengalami keuntungan dan juga kerugian.

Benefit Ratio Cost (B/C) Ratio merupakan salah satu ukuran kelayakan suatu usaha yaitu hasil perbandingan antara besarnya penerimaan dengan biaya produksi yang harus dikeluarkan. Bila nilai R/C Ratio > 1 maka usahanya layak untuk dilanjutkan. Bila < 1 maka usaha tidak layak dan bila = 1 maka usaha pulang modal/pokok.

Friday, October 23, 2009

Revolusi Peternakan Belum Selesai

Flu burung (avian influenza) memang menakutkan, tetapi bukan berarti tidak dapat ditanggulangi. Wabah ini telah makan korban jutaan unggas dan lebih dari 60 jiwa manusia dalam tiga tahun terakhir. Catatan terpenting adalah insiden korban jiwa tidak terjadi di sekitar peternakan skala komersial, tetapi di daerah permukiman.

Kerugian ekonomi yang diderita para peternak karena flu burung berkisar Rp 1 triliun (versi pemerintah) sampai Rp 5 triliun (versi peternak).

Apa pun ukuran yang digunakan, wabah flu burung harus ditanggulangi karena sektor peternakan merupakan urat nadi ekonomi rakyat yang mampu menyerap jutaan lapangan kerja.

Semakin lamban penanganan flu burung, vaksinasi, langkah isolasi, pemusnahan unggas yang tertular, dan biosafety lainnya, maka semakin buruklah kepercayaan pelaku ekonomi pada kinerja pemerintah sekarang.

Indonesia tidak boleh main-main dengan aktivitas sektor ekonomi yang sangat sensitif terhadap penyerapan lapangan kerja. Seperti diakui sendiri oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ketika menyampaikan pidato politik awal tahun 2007, pengangguran dan kemiskinan adalah dua masalah utama yang perlu memperoleh perhatian memadai.

Sektor peternakan sebenarnya dapat menjadi salah satu penghela pengangguran apabila para pejabat di tingkat pusat dan daerah tidak melakukan "kampanye negatif" terhadap sektor perunggasan atas nama penanggulangan flu burung.

Sesuatu yang hampir pasti adalah bahwa daging ayam dan telur adalah sumber protein hewani yang baik dengan harga yang dapat terjangkau banyak kalangan.

Ketika pertumbuhan sektor peternakan kembali di atas 3 persen per tahun pascakrisis ekonomi, banyak yang mengira bahwa Revolusi Peternakan sudah selesai.

Bahkan, tren angka pertumbuhan diperkirakan akan kembali tumbuh 7 persen per tahun seperti pada awal Revolusi Peternakan di Indonesia awal dekade 1980-an.

Konsumsi daging unggas

Prakiraan itu terbukti over-estimate, salah satunya karena serangan wabah flu burung. Pada tahun 1999, angka konsumsi protein dari daging unggas sebesar 16 kilokalori (kkal) dan berlipat menjadi 34,9 kkal.

Akan tetapi, wabah flu burung telah menurunkan laju pertumbuhan konsumsi daging unggas menjadi 32,6 kkal pada tahun 2005 (data dihitung dari Survei Sosial Ekonomi Nasional Badan Pusat Statistik/Susenas BPS).

Konsumsi protein yang berasal dari telur tampak tidak terlalu terpengaruh karena flu burung. Pada tahun 1999, konsumsi protein dari telur hanya 13,3 kkal, kemudian meningkat menjadi 20,7 kkal pada tahun 2003.

Data terakhir Susenas tahun 2005 menunjukkan bahwa konsumsi protein yang berasal dari telur telah menunjukkan angka 23,4 kkal.

Karakter perubahan permintaan tinggi seperti inilah yang menjadi ciri khas Revolusi Peternakan, sesuatu yang sangat berkontribusi pada pencapaian ketahanan pangan, kualitas sumber daya manusia, dan pembangunan ekonomi secara umum.

Sektor peternakan memang mewarnai perubahan konsumsi masyarakat dari sumber kalori berbasis karbohidrat menjadi berbasis kandungan protein tinggi. Sekitar 56 persen dari konsumsi daging di Indonesia memang berasal dari unggas; cukup jauh dibandingkan dengan angka konsumsi daging sapi yang hanya 23 persen.

Walaupun demikian, angka konsumsi daging unggas yang hanya setara 4,5 kilogram per kapita per tahun itu jelas sangat rendah atau seperlima dibandingkan dengan konsumsi daging negara-negara maju.

Para pejuang sektor peternakan masih harus berusaha keras meningkatkan laju konsumsi daging ini untuk menunjukkan peran nyata terhadap kualitas gizi dan protein masyarakat dan tentunya kecerdasan bangsa Indonesia secara umum.

Sesuai dengan karakter yang lebih dinamis, Revolusi Peternakan mensyaratkan peningkatan kapasitas sistem produksi dan distribusi yang lebih beradab serta antisipasi permasalahan lain, termasuk aspek eksternal lingkungan kebijakan, perdagangan internasional, dan sebagainya.

Para peternak tahu persis, apalagi yang berskala komersial, bahwa unggas yang diternakkan secara baik dan benar akan bebas dari flu burung dan aman dikonsumsi masyarakat.

Peternak ini seharusnya paham bahwa langkah individualistis yang emosional sebagai reaksi terhadap "kesemrawutan" tindakan pemerintah dalam menanggulangi flu burung dapat menghancurkan sektor peternakan sendiri.

Akhir Januari lalu, harga jual ayam pernah anjlok di bawah Rp 4.000 per kilogram atau tidak sampai Rp 8.000 per ekor ayam karena kepanikan para peternak sendiri.

Kalangan bandar (broker) dan rumah potong ayam menjadi penikmat rente menggiurkan tersebut karena harga jual ayam di tingkat konsumen masih sekitar Rp 12.000 per ekor.

Sependek pemahaman saya, saat ini tidak terdapat studi tata niaga ayam yang komprehensif yang dapat dijadikan acuan pengambilan kebijakan untuk menjaga iklim investasi di sektor perunggasan yang sebenarnya sangat potensial.

Sempat terjadi saling-silang pernyataan pejabat negara tentang status wabah flu burung, yaitu dianggap sebagai "kejadian luar biasa (KLB)" atau "bencana nasional".

Konon, status tersebut sangat berhubungan dengan strategi penanggulangan wabah beserta administrasi pemerintahan dan sistem penganggaran (baca: proyek) yang bersumber dari anggaran negara dan hibah lembaga asing.

Penanggulangan flu burung selama ini telah melibatkan Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Kantor Menko Kesra, Kantor Menko Perekonomian, dan Departemen Dalam Negeri yang dilaksanakan pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota.

Sejak tahun lalu, Indonesia memiliki Komisi Nasional Pengendalian Flu Burung dan Kesiapsiagaan Menghadapi Pandemi Influenza atau umum disingkat Komnas Flu Burung yang dikuatkan dengan Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2006.

Aktivitas sehari-hari Komnas Flu Burung diemban oleh pelaksana harian Deputi Menko Perekonomian bidang pertanian dan perikanan.

Terdapat cukup banyak perangkat kebijakan yang berhubungan langsung dengan flu burung. Misalnya yang terbaru adalah Peraturan Menteri Pertanian Nomor 50/Permentan/OT.140/10/2006 tentang Pedoman Pemeliharaan Unggas di Permukiman; Keputusan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1371/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Flu Burung sebagai Penyakit yang Dapat Menimbulkan Wabah, dan Nomor 1372/Menkes/SK/IX/2005 tentang Penetapan Kondisi Kejadian Luar Biasa (KLB) Flu Burung.

Kemudian, karena banyak sekali korban jiwa yang suspect flu burung, Gubernur DKI Jakarta berinisiatif mengeluarkan Instruksi Gubernur Nomor 5 Tahun 2007 tanggal 17 Januari 2007 tentang Pelaksanaan Pengendalian Pemeliharaan dan Peredaran Unggas.

Ucapan Gubernur Sutiyoso, "Pilih Selamat atau Mati", di depan kamera televisi dan dimuat sejumlah media menjadi sesuatu yang sangat fenomenal dalam kampanye penanggulangan flu burung.

Ucapan itu dapat berdampak positif untuk meningkatkan kesadaran warga Ibu Kota, tetapi dapat berdampak negatif karena akan terdapat kesan bahwa yang diperangi adalah unggas, bukan wabah flu burung.

Menariknya lagi, sehari setelah Instruksi Gubernur DKI itu, Mendagri kemudian mengeluarkan Surat Edaran (SE) Nomor 440/93/SJ/2007 tentang Penanganan Flu Burung tanggal 18 Januari 2007, yang ditujukan kepada gubernur dan bupati/wali kota di seluruh Indonesia.

Sebagaimana karakter administrasi birokrasi pada umumnya, SE Mendagri seperti itu telah mengundang berbagai macam interpretasi dan tindak lanjut yang sangat beragam di daerah.

Ada daerah yang sangat keras dan kaku melakukan pemusnahan unggas sampai melibatkan aparat berwajib, tetapi ada yang cukup lunak mengupayakan suatu peraturan daerah dan membahasnya bersama anggota parlemen di daerah karena begitu strategisnya sektor peternakan di daerah tersebut.

Ketika wabah flu burung tidak kunjung teratasi, Presiden SBY menyampaikan tujuh instruksi (secara lisan) pada tanggal 25 Januari 2007.

Sebenarnya, pemerintah konon sedang mempersiapkan Instruksi Presiden itu secara tertulis dan menjadi produk kebijakan yang mengikat. Dengan "alur mundur" seperti itu, masyarakat bisa menilai kualitas kebijakan penanggulangan flu burung di negeri ini.

Langkah penanggulangan flu burung di Indonesia sebenarnya merupakan adaptasi dari sistem zone base dan country base yang ditawarkan Badan Kesehatan Hewan Dunia. Pemerintah wajib melaksanakan program sejenis community development, mendorong partisipasi masyarakat memantau lalu lintas perdagangan ternak antarzona.

by Bustanul Arifin Guru Besar UNILA dan Dosen Pascasarjana Manajemen dan Bisnis IPB

Thursday, October 22, 2009

Closed House Sebuah Solusi Mengatasi ”Global Warming”

Seluruh masyarakat didunia sedang berlomba meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimilikinya. Bukti sejarah menunjukkan bahwa maju mundurnya negara tergantung dari kualitas SDM warga negaranya. Banyak negara yang sumber daya alamnya melimpah menjadi obyek eksploitasi negara lain karena tidak bisa mengolah sumber daya alam tersebut, disisi lain banyak negara yang memiliki SDA terbatas, namun mempunyai SDM yang baik akan mampu mencapai kesejahteraan yang tinggi. Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengatakan bahwa untuk mewujudkan peningkatan produksi nasional harus tersedia sumber daya alam yang cukup, modal yang besar, peningkatan teknologi, dan peran sumber daya manusia. Jepang mempunyai lahan pertanian yang sangat sempit, tapi dengan SDM yang berkualitas negara tersebut dapat menciptakan teknologi sehingga mampu meningkatkan produksi pertanainnya (Arifin, 2001). Bukti-bukti empirik telah menjelaskan bahwa suatu negara tidak akan maju apabila tidak didukung oleh pembangunan sumber daya manusia yang bermutu. SDM yang bermutu adalah meraka yang mempunyai ilmu pengetahuan yang tinggi, pandai dalam menajemen, dan menerapkan teknologi yang canggih, selain itu untuk membangun SDM yang berkualitas harus menyentuh banyak aspek. Namun fokus utamanya mutlak diletakkan pada upaya peningkatan kualitas dasar penduduk dalam hal fisik dan intelegensia.

Kualitas SDM ditentukan oleh kualitas pangan yang dikonsumsi oleh masyarakat, karena kualitas pangan sangat menentukan tingkat pertumbuhan fisik dan kecerdasan penduduk, disamping pendidikan dan layanan kesehatan yang baik. Produk peternakan yang dimanfaatkan sebagai sumber bahan pangan utama dan dikonsumsi oleh manusia, pada umumnya terdiri atas tiga komoditas, yaitu: daging, susu, dan telur. Menurut Daryanto (2008) bahan pangan hewani merupakan sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan berperan untuk membentuk masyarakat yang sehat, cerdas, produktif dan berkualitas.

Statistik Peternakan menunjukkan bahwa dari ketiga produk tersebut, unggas merupakan kontributor terbanyak dalam penyediaan daging nasional, sekitar 1.355.841 Ton (65,46 %) dari total produksi daging (TPD) dengan rincian ayam lokal 322.780 (23.9%), ayam ras petelur 54.312 (4.0%), ayam ras pedaging 955.756 (70,5%) dan Itik 22.295 (1,6%); dikuti oleh Sapi (389.294 Ton, 18,80 % TPD); Babi (179.441 Ton, 8,67 % TPD); Kambing (53.227 Ton, 2,57 % TPD); Domba (51.894 Ton, 2,51 % TPD); Kerbau (39.503 Ton, 1,91 % TPD) dan terakhir Kuda (1.682 Ton, 0.08 % TPD)  (Ditjennak, 2006). Menurut Siagian (2008) tingkat konsumsi protein hewani di Indonesia relatif rendah, hanya 4,7 gram/kapita/hari jauh dari target 6 gram/kapita/hari. Berdasarkan data diatas dapat dikatakan bahwa tingkat konsumsi protein hewani hanya 78,3% dari target nasional.
kandang closed house

Daryanto (2008) mengatakan bahwa rendahnya konsumsi protein hewani penduduk Indonesia disebabkan karena lemahnya daya beli masyarakat, selain itu kasus Avian Influenza (AI) belum dapat diselesaikan secara tuntas, serta rendahnya sosialisasi sadar gizi terhadap masyarakat Indonesia. Hal itu senada dengan pendapat Rusfidra (2008) yang mengatakan bahwa rendahnya konsumsi produk unggas tidak hanya disebabkan karena daya beli masyarakat yang rendah, tapi juga disebabkan minimnya sosialisasi sadar gizi kepada masyarakat.

Usaha perunggasan dalam hal ini usaha ayam broiler di Indonesia telah menjadi sebuah industri yang memiliki komponen lengkap dari sektor hulu sampai ke hilir, perkembangan usaha ayam broiler ini memberikan kontribusi nyata dalam pembangunan pertanian. Berdasarkan proyeksi BAPPENAS, pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan sebanyak 273,7 juta jiwa. Dengan jumlah penduduk terbesar keempat didunia, Indonesia merupakan pasar yang sangat besar (Rusfidra, 2008). Maka dapat dipastikan permintaan atas daging ayam broiler akan meningkat, sehingga banyak investor-investor yang mulai melirik peluang usaha peternakan ayam broiler. Dengan meningkatnya populasi dan peternakan ayam broiler, maka dapat dipastikan lahan untuk peternakan akan bersaing dengan lahan pemukiman penduduk, dan akan menyebabkan polusi yang ditimbulkan dari kotoran ayam broiler, Selain itu Isu pemanasan global (Global Warming) juga merupakan masalah bagi peternak saat ini, kerana suhu bumi menjadi semakin panas. Pada dasarnya ayam broiler merupakan unggas yang rentan terhadap suhu yang panas, untuk itu perlu penerapan teknologi dalam mengelola peternakan ayam broiler sehingga dapat mengatasi permasalahan lingkungan tersebut.
kandang closed tampak dari dalam full otomatis

Perkembangan teknologi akhir-akhir ini sangat membantu manusia dalam menyeleseikan pekerjaannya, seperti kehadiran teknologi terbaru pada sistem perkandangan ayam broiler, yaitu sistem kandang dengan ventilasi yang bisa diatur atau yang sering dikenal dengan sistem kandang tertutup (Closed House). Sistem kandang tertutup merupakan kandang yang ramah lingkungan, karena bau dari polusi yang ditimbulkan kotoran ayam dapat dikurangi dengan bantuan  kipas didalam kandang. Selain itu pembangunan kandang tertutup tidak membutuhkan lahan yang luas karena dapat meningkatkan kepadatan ayam dan kandang dapat dibuat dua atau tiga lantai. Adapun faktor penghambat untuk menerapakan teknologi kandang tertutup yaitu besarnya modal yang dibutuhkan untuk pembangunan kandang, kerena teknologi kandang tertutup merupakan usaha padat modal bukan usaha padat karya. Prayitno dan Budi Santosa (1996) mengemukakan bahwa teknologi harus bertujuan menghasilkan keuntungan-keuntungan untuk menunjang kebijakan pembangunan yang pada dasarnya mempertemukan dua aspek, yaitu penggalakan investasi dan memaksimalkan penyerapan tenaga kerja.

Saturday, August 1, 2009

Ekspansi Kandang Open Menuju Kandang Closed House

Ayam pedaging atau broiler lebih bagus hasil produksinya pada kandang sistem closed house daripada ayam petelur dengan sistem sama atau kandang terbuka. Peningkatan teknologi secara menyeluruh berdampak besar bagi peningkatan produksi. Tidak ada kata tidak untuk penggunaan sistem closed house buat pemeliharaan ayam pedaging dengan hasil terbaik.

Inilah suatu cara modern untuk meningkatkan produksi ayam pedaging secara signifikan. Degan cara ini tidak ada gangguan pemeliharaan ayam pedaging karena lingkungan lebih baik, tempat pemeliharaan lebih hemat, kualitas ayam lebih baik, angka kematian rendah, kondisi pertumbuhan ayam merata, dan penampilan ayam yang dihasilkan baik secara maksimal.

Bagaimana dan mengapa penerapan kandang tertutup lebih banyak khusus pada pemeliharaan ayam pedaging? Secara penelitian, efek kandang tertutup untuk ayam pedaging menghasilkan perbedaan mencolok dibanding kandang postal dan kandang terbuka.

Keberadaan, fungsi dan manfaat closed house pada prinsipnya tidak peduli kondisi daerah. Pada keadaan lingkungan daerah apapun, secara fleksibel kondisinya dapat diadaptasi oleh kandang tertutup.
Perkembangan dunia perunggasan di bidang peternakan merupakan yang terdepan jika dibandingkan dengan komoditas lainnya. Hal ini ditunjukkan dengan tingginya permintaan akan daging ayam broiler dan telur. Sejalan dengan itu penerapan teknologi yang ditujukan untuk peningkatan efisiensi dalam pemeliharaan juga telah banyak diterapkan.

Teknologi yang menguntungkan sejauh ini telah diterapkan pada closed house system (sistem kandang tertutup).
Closed house system dibuat dengan tujuan agar faktor lingkungan seperti panas, cuaca, angin hujan dan sinar matahari tidak berpengaruh banyak saat pemeliharaan. Berikut ini adalah keuntungan closed house system :
1.      Meningkatkan kapasitas pemeliharaan.
2.      Ayam lebih sehat, nyaman, segar dan tenang.
3.      Sirkulasi udara lebih baik
4.      Mendukung produktivitas maksimal
5.      Efisiensi tenaga kerja.
6.      Temperatur dapat dikontrol sesuai dengan kebutuhan pemeliharaan.
7.      faktor lingkungan tidak berperan banyak saat pemeliharaan
Hampir dikatakan tidak ada kontak dengan faktor lingkungan selama pemeliharaan, didalam sistem kandang tertutup ventilasi memiliki peranan yang sangat penting untuk menjaga temperatur dan kelembapan udara di dalam kandang.

Berikut ini merupakan fungsi ventilasi pada closed house system :
1.   Menghilangkan panas.
2.   Menurunkan kelembapan udara.
3.   Mengurangi debu.
4. Menurunkan kadar gas beracun di dalam kandang seperti gas ammonia, karbondioksida maupun       karbonmonoksida.
5.    Menyediakan oksigen.

Sistem ventilasi pada closed house tergantung dari jenis kipas(fan) yang digunakan. Cara kerja fan itu sendiri dibagi menjadi dua cara, yaitu mendorong udara masuk dan menyedot keluar.
Cara kerja fan model pertama adalah udara mengalir ke dalam akan menyebabkan takanan positif sehingga sifat ini disebut dengan system positif (positive pressure system).
Cara kerja fan model kedua adalah udara mengalir dari dalam kandang menuju ke luar akibat adanya daya sedot fan, sehingga terjadi tekanan negative. Cara kerja fan ini biasa disebut dengan sifat negative (negative pressure system).